Era Keemasan Seven Eleven Indonesia
Seven Eleven merupakan jaringan ritel 24 jam asal Amerika Serikat yang berdiri sejak tahun 1927. Gerai ini mulai mendunia pada tahun 2008 saat dilakukan penandatanganan Letter of Intent Master Franchise Sevel di Dallas, Amerika Serikat.
Selang satu tahun, Seven Eleven masuk ke Indonesia dibawah PT Modern Putraindonesia, tepatnya pada 7 November 2009 dengan gerai pertamanya di Bulungan, Jakarta Selatan.
Tampilan fisik serta produk-produk yang dijual Seven Eleven memang memiliki ciri khas minimarket. Namun, untuk bisa buka selama 24 jam, mereka harus menggunakan izin restoran.
Kemudian manajemen pun menambahkan makanan cepat saji, lengkap dengan meja dan kursi untuk pelanggan menikmatinya. Produk khasnya yaitu Slurpee, sejenis minuman es dan Big Gulp, yang merupakan minuman soft drink berukuran besar.
Nah, konsep tersebut cukup diterima oleh masyarakat khususnya kalangan muda.
Hingga pada masa kejayaannya, melansir halaman Katadata, Seven Eleven membuka 30-60 gerai baru di Jakarta. Bila tahun 2011 hanya terdapat 50-an gerai, tahun 2012, jumlahnya bertambah hampir dua kali lipat yaitu 100 gerai, sampai Desember 2014 gerainya pun bertambah lagi menjadi 190 gerai.
Penjualan bersih 7 Eleven di tahun 2014 naik 24,5% dari tahun sebelumnya yaitu Rp778,3 miliar menjadi Rp971,7 miliar. Dapat dikatakan, tahun itu menjadi masa keemasan Seven Eleven di Indonesia.
Seven Eleven Indonesia sempat menjadi salah satu tempat yang digandrungi masyarakat, khususnya kalangan muda untuk bersantai dan nongkrong dengan teman-temannya. Namun, seiring berjalannya waktu pamor Seven Eleven kian menurun.
Tahun 2017, tempat yang akrab disebut dengan Sevel ini resmi menutup semua gerainya yang ada di Indonesia. Padahal Sevel selalu ramai dengan anak mudah yang senang nongkrong.
Sebetulnya, apa penyebab Seven Eleven hengkang dari Indonesia dan bagaimana perjalanannya hingga sempat menjadi tempat nongkrong favorit anak muda? Yuk, ketahui selengkapnya dalam artikel berikut ini!
Baca Juga: Indomaret vs Alfamart: Dua Raja PAsar Ritel Modern, Mana yang Terbaik?
Salah strategi pemasaran.
Lanjutkan membaca artikel di bawah
Model yang digunakan oleh Sevel adalah minimarket premium serta cafe didalam satu tempat, tapi sepertinya hal ini dirasa kurang pas dengan pasar di Indonesia. Menurut Yodhia Antariksa yang di kutip dari strategimanajemen.net Sevel mungkin contoh penerapan strategi produk yang stuck on the middle. Ndak jelas. Mau menghadirkan layanan premium seperti Starbucks, tidak bisa. Mau gunakan prinsip supermarket efisien seperti Indomaret, namun sudah telanjur terkesan premium produknya – karena harus menyewa lahan di lokasi strategis yang amat mahal.
Strategi pemasaran yang tidak tepat
Model penjualan yang digunakan oleh Seven Eleven adalah minimarket premium dengan kafe dalam satu tempat, namun ini kurang pas dengan pasar Indonesia.
Mengutip halaman Strategi Manajemen, Sevel mungkin menjadi contoh penerapan strategi produk stuck on the middle. Ingin menghadirkan layanan premium seperti Starbucks, tidak bisa dan ingin menggunakan prinsip supermarket yang efisien seperti Indomaret, namun terlanjur memberi kesan premium produknya.
7 Eleven menyediakan berbagai jenis snack, kopi, makanan berat yang perlu dipanaskan, dan lainnya. Namun, hal ini malah menjadi boomerang tersendiri bagi Sevel, yang mana pada kenyataannya daya beli masyarakat rendah.
Banyak kalangan muda yang datang ke Seven Eleven untuk nongkrong berjam-jam hanya dengan membeli soft drink. Sehingga pendapatan yang masuk tidak sebanding dengan biaya yang harus dikeluarkan.
Memang awalnya, Sevel mengharapkan pelanggan yang datang akan membeli makanan premium yang mereka jual sambil nongkrong seperti di kafe pada umumnya. Namun kenyataannya tidak seperti itu, pelanggan yang datang hanya berjumlah sedikit, berbanding terbalik dengan jumlah anak muda yang nongkrong berjam-jam meski hanya membeli snack atau soft drink saja.
Cost operasional tinggi, namun pemasukan sedikit.
Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, cost yang harus di keluarkan Sevel sangatlah besar tapi pemasukan yang mereka dapatkan sedikit. Misalnya saja cost yang harus mereka keluarkan untuk memanaskan makanan yang mereka jual sangat tinggi tapi peminatnya sedikit, akibatnya makanan itu dibuang karena tidak laku di jual. Sevel juga harus menyewa lahan yang luas di lokasi yang strategis yang tentunya membutuhkan cost yang tidak sedikit, hal ini dikarenakan Sevel memang ingin menyediakan tempat nongkrong untuk para customeenya.
Berbeda halnya dengan Alfamart dan Indomaret yang tidak memerlukan lokasi yang luas, karena mereka memang sebuah "minimarket murni", di mana pembeli datang untuk membeli barang, lalu keluar. Lahan untuk parkir yang mereka sediakan biasanya juga tidak luas karena jarang ada pembeli yang berlama- lama disana. Mungkin belanja produk di Indomaret atau Alfamart paling lama membutuhkan waktu sekitar 30 menit. Jadi, pemasukan yang Indomaret atau Alfamart dapatkan dibanding Sevel tentunya lebih tinggi.
IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.
Jakarta (ANTARA News) - Seluruh gerai 7-Eleven di Indonesia mulai 30 Juni ini tak akan lagi beroperasi. Hal ini seperti diungkapkan PT Modern Sevel Indonesia (MSI) selaku pemegang bisnis merek waralaba 7-Eleven.
Mengutip dari Keterbukaan Informasi yang dirilis 22 Juni lalu, Direktur PT Modern International Tbk (Persero) (PT MSI merupakan satu entitas anak PT Modern International), Chandra Wijaya mengungkapkan, penutupan ini karena keterbatasan sumber daya yang dimiliki Perseroan untuk menunjang kegiatan opersaional gerai 7-Eleven.
"Hal ini disebabkan oleh keterbatasan sumber daya yang dimiliki Perseroan untuk menunjang kegiatan operasional gerai 7-Eleven setelah Rencana Transaksi Material Perseroan atas penjualan dan transfer segmen bisnis restoran dan convenience store di Indonesia," tulis Chandra.
Selain itu, sambung dia, PT MSI juga gagal melakukan kesepakatan dengan PT Chaeroen Pokphand Restu Indonesia dalam hal pengambilalihan kegiatan usaha.
"Hal-hal material yang berkaitan dengan yang timbul sebagai akibat dari pemberhentian operasional ini akan ditindaklanjuti sesuai dengan peraturan dan hukum yang berlaku dan akan diselesaikan secepatnya," demikian tulis Chandra.
Pewarta: Lia Wanadriani SantosaEditor: Kunto Wibisono Copyright © ANTARA 2017
Liputan6.com, Jakarta PT Modern Internasional Tbk tidak menyalahkan pemerintah atas penghentian operasi bisnis ritel 7-Eleven (sevel), meski salah satu penyebab tutupnya covenience store tersebut adalah pelarangan penjualan minuman beralkohol.
Komisaris Modern Internasional Donny Sutanto mengatakan, Modern Internasional telah berupaya maksimal untuk mempertahankan operasi 7- Eleven. Namun usaha tersebut tidak membuahkan hasil. Dengan terpaksa pada 30 Juni 2017, perseroan memutuskan untuk menghentikan operasional 7-Eleven.
"Kami menutup seluruh toko, dengan demikian bisnis sevel tidak bisa dilanjutkan oleh kami," kata Donny di Kantor Pusat Modern Internasional, Jakarta, Jumat (14/7/2017).
Donny mengakui, salah satu penyebab penutupan 7-Eleven adalah pelarangan penjualan minuman beralkohol di gerai minimarket yang efektif berlaku sejak April 2015. Pelarangan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 6 Tahun 2015.
"Kalau karena pelarangan penjualan minuman beralkohol, Iya. Tetapi itu tidak terlalu besar," ucap Donny.
Di kesempatan yang sama, Direktur Keuangan Modern Internasional Chandra Wijaya mengungkapkan, penghentian kegiatan operasional 7-Eleven yang telah berdiri sejak 2009 di Indonesia disebabkan oleh banyak faktor, baik internal maupun eksternal.
Untuk saat ini penghentian operasional bisnis 7-Eleven merupakan pilihan terbaik bagi perseroan karena bisnis 7-Eleven mengalami kerugian yang signifikan dan terus menerus menggerus modal kerja perseroan.
"Manajemen menyadari bahwa keputusan ini merupakan salah satu resiko bisnis yang harus dihadapi," ucap dia.
Ditambah lagi dengan daya beli masyarakat yang melemah sejak 2015 , terus berkelanjutan pada 2016 dan 2017. Pertumbuhan bisnis retail yang melambat juga menjadi salah satu kendala dalam pengembangan bisnis 7 -Eleven.
Selain itu, persaingan bisnis retail, khususnya di bidang convenience store semakin lama semakin tinggi dan ketat dengan banyaknya pemain baru yang masuk.
"Persaingan bisnis yang sangat ketat ini bukan hanya dirasakan oleh bisnis 7-Eleven, tetapi juga banyak pemain ritel convenience store dengan merek kuat dari luar yang sudah terlebih dahulu melakukan penghentian operasi bisnis mereka," tutup Chandra.
Tonton Video Menarik Berikut Ini:
- PT Modern Sevel Indonesia (MSI) resmi mengibarkan bendera putih tepat pada 30 Juni 2017. Bendera putih tersebut menandakan berhentinya atau tutupnya seluruh gerai waralaba 7-Eleven (Sevel) yang beroperasi di Indonesia.
Usia Sevel di Indonesia hanya mampu bertahan selama 8 tahun sejak pertama kali beroperasi di Indonesia. Pengumuman tutupnya seluruh gerai Sevel di Indonesia diumumkan sejak Jumat (23/6/2017) oleh PT Modern Internasional Tbk (MDRN) melalui keterbukaan informasi di bursa saham.
Melansir 7elevenid.com, Sabtu (1/7/2017). Sevel melalui PT MSI resmi mengembangkan jaringan bisnis di bidang
di Jakarta. Indonesia adalah negara ke-17 di dunia yang membuka bisnis waralaba 7-Eleven. Hingga 31 Desember 2014, jumlah outlet Sevel yang beroperasi di DKI Jakarta telah mencapai 190 gerai.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Awal mula gerai 7-Eleven mendunia pada 2008 yang dilakukan penandatanganan Letter of Intent Master Franchise gerai 7-Eleven di Dallas, Amerika Serikat. Pada 2009, ada penandatanganan Master Franchise Agreement 7-Eleven di Tokyo, Jepang.
Pada 2009 juga menjadi awal mula cerita Sevel Indonesia masuk ke Indonesia, tepatnya pada 7 November 2009, yang membuka di Bulungan, Jakarta Selatan. Pada saat itu pula, bisnis ritel di Indonesia merupakan bisnis yang memiliki prospek dan peluang sangat menjanjikan untuk beberapa tahun mendatang.
Ekspansi juga terus dilakukan, di mana pada 2010 kembali melakukan pembukaan gerai 7-Eleven yang ke-21 di Indonesia. Pada 2011, gerai Sevel Indonesia menjadi 57, dan pada tahun ini juga dilakukan pembukaan PT Fresh Food Indonesia). Pada 2012 pembukaan gerai 7-Eleven ke-100, sampai Desember 2014 gerainya menjadi 190 gerai.
Meski memiliki banyak gerai, namun perjalanan bisnis usaha PT MSI ini mengalami persaingan ketat dengan beberapa ritel dengan konsep bisnis yang serupa seperti Lowson, Family Mart, Indomaret Poin, dan lainnya.
Persaingan yang ketat membuat Sevel mengalami kerugian yang cukup lama. Bahkan, adanya aturan-aturan seperti larangan penjualan minuman beralkohol juga menjadi salah satu Sevel ditinggalkan masyarakat.
Usai mengalami kerugian, pada awal 2017 ada isu akuisisi 7-Eleven oleh PT Charoen Pokphand Restu Indonesia (CPRI) yang merupakan entitas dari PT Charoen Pokphand Indonesia (CPI) Tbk. Kedua perusahaan tersebut telah menyepakati akuisisi dengan nilai Rp 1 triliun, kesepatakan tersebut tertuang dalam Conditional Sales Purchase Agreement (CSPA).
Namun, kabar akuisisi tersebut batal terealisasi dikarenakan adanya ketidaksepakatan. Informasi itu disampaikan oleh manajemen PT Modern Internasional Tbk (MDRN) sebagai induk usaha dari PT Modern Sevel Indonesia yang merupakan pemegang hak master franchise sevel di Indonesia melalui keterbukaan informasi, Senin (5/6/2017).
Pembatalan akusisi itu juga berujung pada informasi penutupan gerai 7-Eleven di Indonesia. Akhir bulan Juni 2017, PT Modern Sevel Indonesia (SMI) resmi menutup seluruh gerai waralaba 7-eleven (sevel) yang beroperasi di DKI Jakarta.
Hal tersebut telah diumumkan sejak Jumat (23/6/2017) oleh PT Moden Internasional Tbk (MDRN) melalui keterbukaan informasi di bursa saham.
Salah target sasaran.
Sevel menjual berbagai macam cemilan atau snack, kopi, makanan berat yang perlu dipanaskan dan lainnya. Tapi rupanya hal tersebut menjadi boomerang bagi Sevel, karena pada kenyataannya daya beli dari masyarakat rendah. Banyak anak muda yang datang ke Sevel hanya membeli soft drink tapi nongkrong berjam-jam. Sehingga pemasukan yang didapat tidak sebanding dengan cost yang harus dikeluarkan Sevel.
Mungkin pada awalnya Sevel mengharapkan bahwa customer yang datang akan membeli makanan premium yang mereka jual sambil bersantai seperti di Starbucks, tapi kenyataannya tidak seperti itu. Customer idaman Sevel itu hanya berjumlah sedikit, berbanding terbalik dengan jumlah anak- anak muda yang nongkrong berjam-jam walau hanya membeli ciki atau soft drink saja.
Tingginya biaya operasional dengan pemasukan yang sedikit
Biaya yang harus dikeluarkan Sevel sangat besar, namun pemasukan yang didapatkan sedikit. Sebagai contoh, biaya yang harus mereka keluarkan untuk memanaskan makanan sangat tinggi namun pembelinya sedikit. Akibatnya, banyak makanan yang dibuang karena tidak terjual.
Selain itu, Seven Eleven juga harus menyewa lahan luas di lokasi yang strategis. Ini tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit, karena memang Sevel ingin menyediakan tempat nongkrong untuk para pelanggannya.
Beberapa penyebab tersebut membuat 136 gerai Seven Eleven harus tutup di Indonesia pada tahun 2017. Ditambah, ketatnya persaingan dalam bisnis ini membuat Sevel gagal beradaptasi karena kompetitor hadir menawarkan harga yang lebih terjangkau dengan bangunan yang cukup luas sebagai daya tariknya.
Memang, Sevel menawarkan konsep minimarket yang unik untuk memanjakan pelanggannya dengan nongkrong kapan saja sehingga banyak ditiru oleh minimarket lain di Indonesia. Namun sayang, Sevel terus bertahan dengan konsep tersebut tanpa mengeluarkan inovasi baru sebagai pembeda dengan minimarket lain.
Baca Juga: 5 Contoh Waralaba Indonesia Yang Telah Mendunia Hingga Amerika!
Itulah beberapa informasi penting mengenai perjalanan Seven Eleven di Indonesia yang perlu kamu ketahui.
Banyak pelajaran yang bisa kamu dapatkan dari kasus tersebut, misalnya jika ingin bisnis terus berkembang, inovasi adalah satu hal yang wajib diperhatikan. Kamu bisa melakukannya dengan mengembangkan cara atau sistem bisnis dari tradisional menjadi digital.
Dalam hal ini, tidak perlu memikirkan teknologi yang rumit, kamu bisa melakukannya dengan membuat invoice secara otomatis. Invoice digital dapat membantu kamu meningkatkan efisiensi bisnis karena prosesnya jauh lebih mudah, misalnya dengan menggunakan Paper.id.
Paper.id adalah platform invoicing dan pembayaran yang akan mempermudah kamu dalam pembuatan invoice antar bisnis secara praktis.
Bukan hanya membuat invoice dengan mudah, kamu juga bisa terima pembayaran secara digital dengan berbagai metode, seperti transfer bank, virtual account, marketplace, dan kartu kredit sekalipun tanpa harus menggunakan mesin EDC fisik.
Bagaimana, menarik sekali untuk pebisnis masa kini, bukan? Yuk gunakan Paper.id sekarang. Gratis, lho!
Content Writer dengan 4 tahun pengalaman menangani konten beragam topik di berbagai industri baik B2C dan B2B, termasuk bisnis, ekonomi, keuangan, dan sebagainya. Saat ini menulis di Paper.id untuk memperkaya wawasan pemilik bisnis dan memajukan industri B2B seluruh Indonesia.
Latest posts by Nadiyah Rahmalia
Bisnis.com, JAKARTA- Conveninece Store 7-Eleven di Indonesia dinyatakan tutup oleh pewaralaba utama per 30 Juni 2017, tidak demikian halnya di Vietnam.
Jaringan ritel modern yang lahir di Amerika Serikat, di bawah perusahaan 7-Eleven, Inc, tersebut justru baru mulai masuk pada 15 Juni 2017 di Vietnam, dan siap melakukan ekspansinya.
Adapun master franchise 7-Eleven (Seven Eleven/Sevel) di Vietnam adalah Seven System Viet Nam JSC (SSV), seperti dikutip dari laman retailasiaonline.com.
SSV telah membuka toko 7-Eleven pertama di Vietnam pada tanggal 15 Juni.
Gerai pertama Sevel di Vitenam terletak di toko Saigon Trade Center di Ho Chi Minh City.
Dikemukakan pewaralaba utama siap untuk membuka sejumlah convenience store Sevel lainnya di Vietnam.
Seperti diketahui, master franchise Sevel di Indonesia yaitu Modern Internasional menghentikan operasional 7-Eleven secara resmi per 30 Juni 2017. Perseroan sebelumnya sudah menutup gerai Sevel secara bertahap sejak 2015.
Penutupan gerai secara keseluruhan dilakukan usai Modern Internasional gagal mencapai kesepakatan penjualan jaringan Sevel di Indonesia dengan PT Charoen Pokphand Restu Indonesia (CPRI), anak usaha PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk. (CPIN).
CPRI dan PT Modern Sevel Indonesia, anak usaha Modern Internasional, telah meneken Conditional Sales Purchase Agreement (CSPA) pada 19 April 2017. Nilai penjualan Sevel disepakati sebesar Rp1 triliun.
Sebelum dapat diwujudkan, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi sebelum batas akhir perjanjian pada 30 Juni 2017. Salah satunya adalah persetujuan pemilik franchise 7-Eleven Inc. yang berbasis di AS.
Namun, sebelum sampai ujung Juni 2017, para pihak memutuskan membatalkan CSPA tersebut.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Industri minimarket di Indonesia telah lama didominasi oleh pemain besar seperti Indomaret dan Alfamart. Dua merek ini telah membuktikan kemampuannya dalam menyajikan produk yang terjangkau dan mudah dijangkau oleh masyarakat Indonesia.
Namun demikian, tidak semua pemain dapat bertahan di pasar ini, bahkan dengan nama besar dan strategi global. Salah satu contoh nyata adalah Seven Eleven, yang meskipun dikenal di seluruh dunia, harus menutup pintunya di Indonesia setelah beroperasi selama hampir satu dekade.
Dalam artikel sederhana ini, kita akan menganalisis perjalanan Seven Eleven di Indonesia dan apa yang dapat dipelajari dari kegagalan mereka. Selain itu, kita juga akan membahas langkah terbaru dari Seven & i Holdings yang sedang mengejar strategi global yang lebih agresif untuk mengembangkan merek 7-Eleven di pasar internasional.
Seven Eleven di Indonesia: Mimpi Besar yang Terpaksa Pudar
Seven Eleven (Sevel) memasuki pasar Indonesia pada tahun 2009 dengan harapan besar untuk merevolusi konsep minimarket. Dengan membawa pengalaman ritel dari luar negeri, Sevel menawarkan konsep toko minimarket yang lebih premium, dengan tambahan kafe untuk tempat nongkrong bagi kalangan muda. Konsep ini terlihat menjanjikan, tetapi sayangnya, tidak dapat bertahan lama di pasar Indonesia.
Pada tahun 2017, Seven Eleven akhirnya menutup seluruh 136 gerainya di Indonesia setelah menghadapi berbagai tantangan yang menghambat kelangsungan bisnis mereka. Kegagalan Sevel memberikan pelajaran berharga yang dapat diterapkan oleh pemain ritel lainnya dalam menghadapi tantangan pasar Indonesia yang dinamis.
Penyebab Tutupnya Seven Eleven di Indonesia
Terdapat beberapa faktor kunci yang menyebabkan tutupnya Seven Eleven di Indonesia, yang bisa menjadi pelajaran penting untuk pemain ritel lainnya, termasuk Indomaret dan Alfamart serta peritel lainnya.
Pelajaran untuk Industri Minimarket Indonesia
Kegagalan Seven Eleven di Indonesia memberikan pelajaran penting bagi industri minimarket di Indonesia, termasuk Indomaret dan Alfamart, yang dapat diambil untuk menghindari kesalahan serupa.
Seven & i Holdings: Mencapai Tujuan Global dengan Fokus pada 7-Eleven
Sementara Seven Eleven di Indonesia menghadapi kegagalan, Seven & i Holdings terus mempercepat strategi globalnya di tingkat internasional.
Pada 13 November 2024, Seven & i Holdings mengonfirmasi bahwa mereka telah menerima proposal pembelian dari Ito-Kogyo, yang terkait dengan keluarga pendiri, sebagai bagian dari upaya untuk memperkuat strategi pertumbuhannya. Proposal manajemen buyout (MBO) ini, jika terwujud, bisa menjadi rekor terbesar dalam sejarah, dengan nilai tawaran mencapai $58 miliar.
Lihat Money Selengkapnya
Sevel atau Seven Eleven adalah salah satu tempat yang sempat sangat di gandrungi oleh masyarakat khususnya kalangan muda, untuk bersantai dan nongkrong dengan teman - teman, Seiring dengan berjalannya waktu pamor dari Sevel kian menurun. Dan pada tahun 2017 ini, Sevel resmi menutup semua gerainya yang ada di Indonesia. Hal ini menjadi perbincangan hangat di masyarakat karena diketahui Sevel selalu ramai dengan anak-anak muda yang nongkrong disana. Kira - kira apa saja sih penyebab ditutupnya Sevel? Berikut penjelasannya
Larangan minimarket menjual minuman beralkohol.
Dikutip dari kompas.com, Penurunan penjualan Sevel juga akibat larangan penjualan minuman beralkohol di minimarket. Hal ini diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 06/M-DAG/PER/1/2015 tentang Pengendalian dan Pengawasan terhadap Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minol. Aturan tersebut mulai berlaku efektif 17 April 2015. Padahal kenyataannya salah satu produk yang diminati di Sevel adalah beer-nya. Hal ini membuat customer yang biasa membeli beer atau sejenisnya di Sevel beralih ke tempat lain.
Tutupnya Seven Eleven di Indonesia
Memasuki tahun 2015, kinerja bisnis Seven Eleven mulai menurun. Saat itu, penjualan bersihnya tercatat sebesar Rp886,84 miliar. Untuk pertama kalinya, mereka menutup 20 gerainya di Indonesia.
Ada beberapa penyebab dibalik tutupnya Seven Eleven Indonesia, di antaranya:
Dikutip dari IDN Times, penurunan penjualan Seven Eleven juga disebabkan karena larangan penjualan beralkohol di minimarket. Ini diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) 06/M-DAG/PER/1/2015 tentang Pengendalian dan Pengawasan terhadap Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minol.
Padahal, salah satu produk yang diminati di minimarketini adalah minuman beralkoholnya. Hal ini membuat pelanggan yang biasa membeli beer di Sevel beralih ke tempat lain.
Toko yang tidak mencapai target.
Dikutip dari liputan6.com, beberapa gerai Sevel terpaksa ditutup karena tidak mencapai target penjualan. Penutupan toko tersebut untuk mengurangi kerugian akibat beban biaya operasional seperti membayar pajak, dan kewajiban membayar listrik dan sewa. "Salah satunya minuman beralkohol itu dilarang jadi penjualannya berkurang, penurunan pembelian snack-snack seperti kacang-kacangan juga, dan sebagian karena untuk toko-toko yang performanya turun dia tidak bisa bayar listrik. Supaya kita tidak terlalu rugi banyak, mau tidak mau tutup," ujar Tina. Ia mengatakan ada juga sebagian toko yang masa sewanya habis tahun ini di tambah kinerjanya tidak sesuai target. Dengan begitu, perusahaan melakukan review atau evaluasi ulang sehingga menurutnya penutupan ini adalah hal yang wajar.